Perkelahian di Jalan Verona
penilaian: +2+x

Berbeda dengan ekspektasi sebagian orang yang belum pernah melihatnya sendiri, lantai Euclid kurang lebih sama sunyinya dengan lantai Safe situs saat malam hari tiba. Hanya penjaga masing-masing sel berisi manusia koleksi Yayasan yang berjaga di depan pintu. Terdapat puluhan pintu, tetapi mereka semua tidaklah lagi terfokus menjaganya. Tahanan mereka sudah tidur(dan memang seharusnya sudah tidur) sehingga yang mereka lakukan sekarang hanyalah menunggu shift mereka selesai selagi berbincang pelan sampai setengah tertidur di lantai.

Terdengar suara langkah kaki pelan yang cukup terdengar bagi penjaga terdekat di area depan koridor. Seorang personel keamanan baru melangkah masuk ke area penahanan Euclid. Dia berjalan mendekati salah satu sel penahanan di sebelah kanan.

Seorang penjaga yang tengah setengah tidur di lantai di samping pintu sel yang didekati orang tadi langsung terbangun mendengar suara langkah kakinya. Dia dengan reflek meraih perangkat SCRAMBLE di sampingnya dan bersiap berdiri sebelum melihat orang yang mendatanginya. Setelah menyadari orang tersebut hanya penjaga juga, dia mengeluarkan napas lega dan kembali duduk.

“Ku kira atasan tadi…” Dia berkata selagi menatap orang yang berdiri di depannya. “Kau perlu apa?” Tanyanya.

“Aku perlu masuk ke dalam.” Balasnya. Suaranya monoton dan terdistorsi bak memakai alat pengubah suara.

Sebelum penjaga tadi bereaksi terhadap apa pun, orang tadi langsung menendang kepalanya.


Seseorang tengah terbaring di kasurnya saat itu. Dia langsung terbangur mendengar suara ketukan nyaring dari pintu selnya. Dia terduduk sejenak selagi menggosok matanya. Rambut hitam panjangnya masih terurai berantakan. Setelah beberapa saat, ketokan terdengar lagi dari luar, seakan tidak ingin menunggu.

Setelah beberapa saat, perempuan di kasur tadi menyadari bahwa ketokan pintunya tidak beraturan. Dia sudah memberitahukan penjaga yang ditugaskan di depan pintunya untuk mengetok pintunya cukup tiga kali. Sebuah kebiasaan yang dia ambil dari orang yang dulu pernah dekat dengannya. Ini artinya siapa pun di sana bukanlah penjaganya saat ini.

Mungkin peneliti…

Perempuan tersebut beranjak keluar dari kasurnya dan berjalan pelan setengah mengantuk ke arah pintu. Sebelum membukanya, dia mengambil helm personel keamanan di meja dan mengenakannya. Sesuatu mengenai wajahnya yang tidak boleh dilihat langsung.

Begitu di depan pintu, dia menyadari baik jendela maupun slot makanan belum dibukanya. Siapa pun di luar sana tidak akan tahu dia sudah di depan pintu, jadi perempuan itu mengetuk balik pintu besinya.

Pintu kemudian terbuka tiba-tiba. Seseorang yang berseragam personel keamanan berdiri di depannya.

“Ikut denganku.” Orang di depan perempuan tersebut berkata. Suaranya terdengar robotik, entah bagaimana. Yang jelas perempuan itu tidak bisa melihat wajahnya di balik helm keamanan yang dipakainya, serupa dengannya meski rambut panjang dan baju oranye bertuliskan SCP-019-ID akan memberitahukan identitasnya.

Perempuan itu bahkan belum sempat bertanya, jadi dia langsung menanyakan hal lain selain maksud penjaga tersebut mendatanginya. “Ada perlu apa ya dengan saya malam-malam begini?”

“Ikut saja denganku.” Penjaga tersebut tidak membuang waktu dan langsung menarik paksa tangan perempuan tersebut. Tentu saja dia mengeluarkan teriakan terkejut selagi dia diseret ke luar selnya.

Perempuan tersebut melihat ke samping dan mendapati penjaga selnya duduk bersandar di lantai di samping pintu.

“Mas Ramun! Bangun!” Perempuan tadi mencoba menyebutkan nama penjaga yang ditugaskan untuk menjaganya, tetapi dia tidak bereaksi. Perempuan tadi tidak menyerah dan menyenggol badannya dengan kakinya untuk membangunkannya…

…Hanya untuk orang di sampingnya jatuh terbaring seketika. Dia sama sekali tidak bergerak.

Tidak memakan waktu lama bagi perempuan tersebut untuk menyadari keadaan dan dia reflek melihat ke sekelilingnya.

Semua penjaga di area penahanan duduk berbaring di dinding.

“Apa… Apa kau yang-“

“Aku tak akan sempat membunuh mereka semua, jadi waktu kita sedikit.” Balas ‘penjaga’ yang menyeretnya sebelum perempuan tersebut menyelesaikan pertanyaannya. Bukan jawaban tepat yang dia inginkan tetapi dia bisa menduganya sekarang.

Sang perempuan tersebut memutuskan untuk tetap diam selagi dia diseret menuju area sel Kelas-D.


Sebuah mimpi.

Dia tengah berada di depan sungai.

Bukan cuma sungai, di sisi kiri depannya berdiri Jembatan London. Cahaya matahari senja menerangi tempat itu. Dia setengah ingat dia pernah melihat itu waktu liburan kuliah. Dia sedang berada di Kota London, Inggris. Sungai di depannya jelas Sungai Thames.

Di depannya berdiri seorang perempuan. Perempuan tersebut membelakanginya. Dia mengenakan gaun putih, menonjolkan rambut hitam panjangnya. Sesuatu yang dia selalu inginkan.

Perempuan tersebut berbalik. Dia tidak dapat melihat wajahnya, tetapi dia yakin sekali perempuan tersebut tersenyum.

Dia bisa mendengar suara darinya,

“Toni.”

“Toni.

“Mas Toni!”

Toni tiba-tiba tersentak. Matanya melihat sekeliling; pemandangan gelap sel Kelas-D sudah mulai familiar baginya.

Tetapi dia sadar dengan cepat dan langsung menoleh; seorang personel keamanan berdiri di depan selnya.

Beserta seorang perempuan.

“Rina! Apa yang-“

Toni langsung berdiri dari ranjangnya. Jantungnya berdetak kencang, dia sudah memberitahukan Balefire untuk tidak mengatakan apa pun mengenai keadaannya sebagai Kelas-D sekarang.

Dia memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun dan memeluk Rina selama beberapa saat meski terhalang jeruji selnya.

“Kenapa kau bohong, mas…”

Toni bisa mendengar suara serak Rina dari balik helm personel keamanannya. “Maaf…” Hanya itu yang bisa Toni katakan saat itu. Dia sama sekali tidak siap akan keadaan ini sehingga dia tidak memiliki hal baik yang dia bisa katakan kepadanya. Perhatiannya kini tertuju pada personel keamanan yang berdiri di samping Rina yang tengah melakukan sesuatu dengan lubang kunci selnya.

“Siapa kau?!”

Penjaga tersebut memutuskan untuk membuka dulu pintu sel Toni sebelum menjawab, “Aku James. James The Apostle” dengan suara robotiknya.

Apostle? Tunggu, kau agen Insurgent??” Toni akhirnya menyadarinya.

“Ku dengar Thomas perlu bukti langsung untuk percaya, jadi aku datang ke sini untuk mengawasimu bekerja.” Penjaga berkode nama ‘James’ tadi membalas, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Toni.

“Tunggu sebentar, mate! Apa yang kau bicarakan?”

Sayangnya pertanyaan Toni tenggelam oleh suara tahanan Kelas-D lain yang menyadari apa yang tengah terjadi.

“Woi tolong bukakan sel gua!”

“Kau! Kemari ke sini dan buka selku juga!”

“Hei, nanggung kau cuma buka satu! Kalau mau keributan, buka sel kami semua!”

BANG

Suara keras mengagetkan ruangan, bahkan membuat Rina berteriak kecil. Suara dentuman keras besi tadi bukan berasal dari senjata apa pun, tetapi hanya dari tangan kosong penjaga tadi yang memukul jeruji sel Toni. Dia melepas pukulannya perlahan, menunjukkan jerujinya yang sedikit penyok. Toni tidak lagi mencoba bertanya, begitu pula tahanan lain yang diam menyaksikannya.

Setelah dipastikan tenang, sang penjaga tadi mengeluarkan suara statis pelan, seperti mengembuskan napas. Dia kemudian mengarahkan ibu jarinya ke arah pintu keluar area sel Kelas-D.

“Aku perlu kau membuka sel tertentu.”


Dua orang pria yang mengenakan jas lab tengah duduk di kursi. Salah satu dari mereka tengah bersandar di sandaran kursi sementara yang satu lagi tengah sibuk membolak-balikkan dokumen dan mencatat sesuatu di kertas. Sesekali dia menggaruk rambutnya yang sedikit berantakan.

Suasana laboratorium lantai Euclid lumayan sunyi, dengan hanya mereka berdua di sana diterangi lampu yang hanya dinyalakan setengah saja.

“Ku rasa kau benar-benar senang kembali di proyek ini.” Kata salah satu dari mereka berdua – yang tengah bersandar di sandaran kursinya, bosan dengan keadaan lab yang sunyi.

Pria yang dia ajak bicara tidak membalas. Dia menatap kosong ke arah catatannya. Orang di sampingnya diam sejenak sebelum menggoyangkan kursinya ke belakang sedikit dan menghentakkannya sebelum kembali berkata, “Kau benar-benar senang di proyek ini?”

Orang yang diajaknya bicara menyadarinya dan menjawab, “Huh, oh, ya.” dengan singkat.

“Meskipun Pak Louis dulu pernah mengeluarkanmu dari proyek sebelumnya?” Lanjut pria yang bersandar.

“Ku rasa dia menyadari kalau dia memerlukanku, eh?” Dia terkekeh selagi tetap menulis.

Lawan bicaranya tidak membalas segera. Dia diam sejenak memandangi rekannya yang perhatiannya tetap terhadap kerjaannya. Akhirnya dia berkata, “Kenapa kau rela mengikutinya? Aku tahu dia semacam genius atau semacamnya, tapi sikapnya seperti itu, lho. Kau sampai berhenti meneliti laba-labamu karenanya.”

Pria yang tengah menulis tadi akhirnya meletakkan pulpennya dan bersandar di sandaran kursinya juga selagi menjawab, “Kau ingin keluar dari situs ini, bukan?”

Yang memakai masker medis diam sejenak sebelum membalas, “Semacam itu.”

“Nah, ku ajari kau mengenai itu. Untuk mencapai itu, kau perlu mencari jalan keluarnya. Dan penelitian apa pun yang diambil Senior Louis memiliki peluang tinggi menaikkan jabatanku. Anggap kau sangat beruntung bisa bekerja langsung dengannya sebagai asisten.”

“Jabatan ya… Aku mengerti.” Kata yang memakai masker medis, mengakhiri pembicaraan.

Kemudian laboratorium pun hening kembali.

“Aku bertemu seseorang, kau tahu.”

Pria yang memakai masker medis menoleh ke arah rekannya yang tidak dia sangka melanjutkan pembicaraan.

“Beberapa bulan lalu. Dia seorang pegawai bank. Kami bertemu di restoran dekat taman kota. Aku lumayan tertarik dengannya dan kami mulai berhubungan sejak saat itu.” Rekannya melanjutkan.

“Tentu saja itu membuatku memikirkan kehidupanku saat ini. Aku jelas tidak ingin mati di sini suatu hari nanti, apalagi dengan memikirkannya sekarang. Jadi aku memutuskan untuk antara pindah ke situs yang lebih baik atau pensiun dini dengan uang sebanyak mungkin. Keduanya memungkinkan jika aku mengikuti Senior Louis, bukan? Kau mengerti sekarang?”

Yang memakai masker medis mengangguk mengerti. Pria satunya berhenti bersandar dan kembali menulis di catatannya.

“Ku rasa enak jadi Senior Louis, ya? Dia sudah menikah dan bisa melakukan apa pun yang dia inginkan di sini.” Katanya pelan.

Lawan bicaranya tersenyum dari balik maskernya dan berkata, “Ku rasa begitu.”


Seorang pria tengah berjalan menyusuri koridor lantai Euclid. Kedua tangannya berada dalam jas lab yang dikenakannya, meski sesekali tangan kanannya dikeluarkan untuk membenarkan posisi kacamatanya.

Dia setengah memikirkan hal yang terjadi padanya sebelum dia berada di koridor tersebut.


“Aku akan langsung saja, Christ, kau perlu berhenti mengacau di lantai Safe.”

Christopher Louis tengah berhadapan dengan kepala keamanan situs di ruangannya. Meski begitu, tatapannya tidak menampakkan kegugupan di balik kacamatanya.

“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Pak Herria.”

Merupakan alibi andalan Louis. Dia selalu menyewa orang untuk melakukan pekerjaan kotornya. Loyalitas sudah dibelinya, mereka tidak akan mengatakan apa pun yang mengarah kembali padanya.

Herria mengembuskan napas kesal sebelum bersandar di sandaran kursinya. Pada awal-awal memanggil Louis, Herria selalu mengantam meja untuk membuatnya mengaku, tetapi sekarang dia merasa itu sia-sia.

“Seseorang membayar penjaga di lantai atas untuk membuat keributan. Seseorang mati karenanya.” Kata Herria.

“Kematian selalu terjadi di sini.” Balas Louis, tidak tertarik akan kematian orang yang dipekerjakannya. “Lagipula, kejadiannya di atas, kan? Sudah ku bilang aku tidak ada hubungan dengan orang di lantai atas.”

Herria pernah membantah argument Louis sebelumnya. Dia tahu persis Louis dendam dengan seseorang, tetapi dia tidak ingin memulai argumen panjang seperti dahulu. Jadi dia berkata, “Entahlah, aku cuma menganggap siapa pun yang melakukannya tidak cerdas. Maksudku anggap orang itu adalah kau, mungkin kau akan memilih membeli rumah atau semacamnya daripada membayar orang untuk memukuli orang lain pada setiap kesempatan.”

Herria menoleh ke samping tidak ingin melihat reaksi Louis. Dia sadar dia tengah menyinggung Louis. Herria tahu pria di depannya merupakan salah satu peneliti terbaik yang masih memilih tinggal di kontrakan dengan alasan jarang pulang. Herria tahu alasan sebenarnya adalah agar dia bisa mengontrol situs ini dengan uang penelitiannya.

“Ku rasa tidak ada lagi yang ingin kau sampaikan kalau begitu.” Herria mendengar Louis berkata. Louis pun berdiri dan berjalan ke pintu keluar.

“Selamat malam, Pak Herria.”


Itu yang Louis tengah pikirkan selagi berjalan menuju laboratorium. Dia tengah melakukan penelitian bersama beberapa orang malam itu saat Herria masuk dan memintanya untuk mendatanginya.

Kau kira aku menikmati ini?

Dia kini berada di depan salah satu pintu masuk laboratorium, menatap kosong ke arah gagangnya.

Aku sudah bersumpah tidak akan berhenti sebelum pria keparat itu meminta maaf.

Setelah tersadar dari lamunannya. Dia diam sejenak memandangi pintu masuk sebelum memutuskan lewat pintu masuk lainnya. Pintu masuk kedua adalah pintu yang dipakainya keluar tadi karena lebih dekat dengan meja yang dipakai timnya.

Pada saat itulah sesuatu menarik perhatiannya di koridor penahanan Euclid. Entah dia salah lihat atau apa, tapi dia bisa melihat beberapa warna oranye di ujung Lorong.

Apa ada penelitian? Malam-malam seperti ini?

Louis mencoba mendekati mereka selagi membersihkan kacamatanya, mengingat dia seharusnya tahu jika ada penelitian lain selain yang dia lakukan.

Setelah kacamatanya bersih dan dia pasang kembali, dia bisa melihat seorang penjaga mendekat. Louis melihat ke sekeliling dan terheran kenapa semua penjaga lain duduk di lantai.

Tunggu sebentar…

Louis melihat lagi ke arah penjaga tadi, yang berlari selagi menyiapkan sesuatu yang tajam di tangan kanannya. Tentu saja Louis lari ke arah laboratorium. Sayangnya dia bisa merasakan sesuatu yang tajam menikam punggungnya dan langsung jatuh. Di tengah napas beratnya, dia hanya bisa mendorong sedikit pintu laboratorium sebelum dia merasa kakinya diseret menjauh.

Mungkin… karma…


Meski samar, dua orang di ruang laboratorium secara bersamaan menoleh ke arah pintu di dekat mereka. Mereka dengan jelas mendengar sesuatu jatuh. Pintu laboratorium terbuka sedikit, tetapi cuma itu yang terjadi.

Yang memakai masker medis merupakan yang pertama berdiri, masih menunggu sesuatu. “Halo?” katanya.

Melihat tidak ada balasan, dia pun berjalan menuju pintu untuk melihat apa yang terjadi. Dia cuma membuka sedikit dan mengintip keadaan luar. Saat itu dia bisa melihat sepasang kaki diseret ke area sel Kelas-D.

Itu jelas bukan pemandangan wajar baginya.

Pria bermasker tadi langsung berjalan cepat ke arah rekannya dan berbisik, “Panggil penjaga, sesuatu terjadi di koridor penahanan Euclid."

Sebelum rekannya mengatakan apa pun, dia berjalan ke arah pintu keluar laboratorium. Dia hanya membuka salah satu pintu dengan perlahan, tidak menghiraukan suara rekannya di belakang. Setelah keluar, dia langsung setengah berlari merapat ke dinding dan mulai mendekat. Dia bisa melihat semua penjaga di koridor dalam keadaan duduk di lantai. Jelas ada yang salah baginya.

Dia pun sampai di depan pintu area sel Kelas-D. Dengan perlahan dia buka salah satu pintu ganda ruangan tersebut dan mengintip keadaan. Dia mulai mengeluarkan salah satu kapak yang dia letakkan di kedua sisi pinggangnya dan menggenggamnya dengat erat. Dia pun memutuskan masuk ke dalam.

Setelah masuk, dia bisa melihat seseorang dengan jas lab di lantai dengan punggungnya berdarah. Dia dengan segera berlari mendekat dan membalik badannya. Kacamatanya yang sedikit retak merupakan hal pertama yang menyadarkannya bahwa dia adalah Louis. Masih bernapas.

Dia lalu menoleh cepat ke arah depan, menyadari ada beberapa orang yang hanya mengenakan kaus tergeletak di lantai. Satu hal lalu membuat jantungnya berdetak cepat.

Mana pelakunya?!

Dia langsung mengayunkan kapaknya ke belakang selagi berbalik. Untung dugaannya tepat karena kapaknya menghantam pisau lipat seseorang yang memakai seragam personel keamanan. Dia langsung loncat mundur seketika.

Tiba-tiba, seluruh area penahanan dipenuhi sorakan dari tahanan Kelas-D.

“Habisi dia!”

“Hajar woy!”

“Bunuh cepetan!”

Kedua orang tersebut saling berhadapan dengan posisi siaga siap menyerang atau diserang. Masing-masing menunggu orang pertama untuk maju.

“Dari mana kau dapat pisaumu kembali, Toni?” Si masker medis berkata, seakan tahu siapa di balik helm penjaga itu.

Mengiyakan dugaan lawannya yang benar, Toni membalas, “Maaf, Bale.”

Dengan iringan sorakan para tahanan, sang ‘penjaga’ tadi langsung maju dan mengayunkan pisau di tangan kanannya dari bawah.

Tentu saja lawannya langsung menghalanginya dengan kapak di tangan kanannya juga. Tangan kirinya meraba samping pinggangnya untuk meraih kapak kedua. Sayangnya Toni memegang pisau lipatnya dengan kedua tangannya, mendorong kapaknya ke atas.

Sang ‘penjaga’ tersebut tidak membuang kesempatan yang ada dan langsung menikam badan Bale yang tidak lagi terlindungi kapak. Tentu saja Bale kesakitan dan mencoba menebas punggung Toni dengan kapaknya. Sayangnya rompi keamanan yang dikenakannya menghambat tebasannya. Toni menarik kapaknya tersebut dan melemparnya menjauh sebelum kembali menikamnya.

Dengan segera si masker medis roboh, diiringi suara sorakan para tahanan. Dia menatap ke arah orang di depannya selagi menahan rasa sakit

Lagi-lagi mau mati… Cepat akhiri, Toni…

Toni perlahan mendekat, mengangkat tinggi pisau lipatnya hanya untuk pintu tiba-tiba terbuka dan seseorang masuk ke dalam.

“Apa-apaan yang kau lakukan? Kalian tidak punya waktu banyak!”

Terdengar suara robotik darinya. Lawannya tadi menatapnya sejenak sebelum keluar dari area tahanan, meninggalkan Bale sendirian berlumuran darah.


“…Balefire? Kau sudah sadar?”

Balefire membuka matanya, tetapi hal pertama yang dia sadari adalah dia tidak lagi mengenakan masker medisnya. Dengan mata terbelalak dan gestur panik dia mengisyaratkan siapa pun lawan bicaranya mengambil masker medis untuknya selagi dia menahan napas. Fobia lama yang masih belum hilang.

Baru sesudah dia mendapatkan dan mengenakan masker medisnya dengan segera baru dia bisa mengenali siapa yang dia ajak bicara.

“Bu Lira?”

“Jangan bergerak dulu, kau ditikam terlalu banyak.” Balas Lira selagi menahan pergerakan Balefire.

Balefire memutuskan untuk tetap berbaring dan melanjutkan bertanya, “Berapa lama aku di sini?”

“…Enam jam.”

“Selama itu ya…” Balefire memikirkan betapa lamanya dia terbaring. Pada akhirnya dia teringat sesuatu dan mengatakan,

“Aku ditikam seseorang berseragam personel keamanan. Kemungkinan besar dia Toni Ivansyah. Oh ya, bagaimana dengan Pak Louis?”

Lira hanya menoleh ke kanan, diikuti oleh Balefire. Seseorang tengah berbaring di ranjang di sampingnya. Punggungnya menghadap ke atas, wajahnya menghadap ke kanan juga sehingga Balefire tidak bisa melihat wajahnya.

“Dia masih belum sadar.” Lira memperjelas.

“Toni bagaimana? Mereka menahannya?” Balefire kembali bertanya.

Lira hanya mengembuskan napas. Dia lalu bertanya balik, “Di tengah kekacauan ini?” dengan arah mata Lira mengarah ke pintu keluar.

Balefire terdiam sejenak memikirkan apa maksud perkataannya. Tidak mendapat petunjuk apa pun, dia mencoba bertanya, “Boleh aku mencoba duduk?”

Lira hanya membalas, “Lakukan dengan perlahan.” Sebelum membelakanginya.

Balefire menurut dan dengan perlahan menegakkan dirinya. Saat itulah dia menyadari lantai dan ranjang lain dipenuhi personel keamanan dengan beragam luka dan perban.

“Apa yang…”

Lira berbalik ke arah Balefire yang terlihat kebingungan.

“Seluruh SCP-030-ID lepas, diikuti neraka di belakangnya.”

Kronik Situs-79

Bab 4: Pelanggaran Penahanan
| Perkelahian di Jalan Verona | Pesta dan Kekacauan Setelahnya »

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 License