Pintu Mendung
penilaian: +9+x

Alia duduk di balkon atap Area 77-B, merantau jauh, jauh, nun jauh setengah bumi dari tanah airnya. Tatapannya bertemu awan kelabu yang merancu surya yang harusnya berpanas siang hari, tercermin dalam kacamatanya dan senada asap rokok yang keluar dari bibirnya.

Ia rindu.

Ibunya. Adik-adiknya. Abang roti depan rumah. Kopi tubruk murah yang ditemani tawa sopir angkot yang bercanda di warteg dekat sekolah.

Ia rindu,

Pada wangi buku-buku jari ibunya yang bersih dengan wudhu, sedikit minyak wanginya tersisa di tangannya. Panasnya kompor dan pedasnya sambal ulek di mata, ditertawakan dua adiknya dan dibela dua yang lain. Dangdut tetangganya yang menyebalkan setiap pagi….

Rindu.

Tiga puluh empat persen populasi Indonesia merokok secara rutin, tapi Alia baru membakar uang berbau cengkeh ini saat ia pergi jauh. Tembakau yang kering berasap terasa pahit manis asam di mulut saat hilang— karbon hitam dan polusi udara skala kecil mengingatkannya pada rumah. Bapaknya hanya meninggalkan sekotak cerutu sebelum pergi hilang entah ke mana, satu batangnya disimpan di meja kerjanya untuk dipandang. Dilihat. Diingat. Adiknya, salah satunya, memenuhi kamar dengan asap tiap bekerja di komputernya, ditemani kopi tubruk dan tawa yang nyaring seperti klakson angkot. Sopirnya pun merokok di dalam warteg, dan aroma makanan bercampur asap yang wangi, wangi, wangi…

Percikan api panas yang jatuh di pangkuan Alia diabaikan seolah celananya tidak punya bekas bakaran di depannya yang tak terhitung lagi, menghisap rokok dengan mulut yang tidak lihai. Ada satu pikiran saja dalam duduknya termangu, yaitu membuat kopi tubruk yang pahit, pahit, pahit, menemaninya dengan kehangatan dari dalam di hari mendung ini.

Ia rindu, dan ingin pulang.

Tapi ia di sini untuk mencari jawaban. Cerutu sebatang dengan bungkus biru tua, label putih corak batik yang seputih rambut ayahnya. Putih yang terlihat dari pintu, dengan kilat matahari di hadapannya, terakhir Alia melihatnya meninggalkan rumah. Alia umurnya baru empat, melihat punggung ayahnya kecil, mengecil, dan tertutup pintu. Ia sayang, dan ia benci. Ibunya memaafkannya dan meminta Alia melakukan yang sama.

Ia rindu ayahnya,

…yang kabarnya bekerja di sini, dan ia mengejar kabar angin ini seperti ragi liar dibawa angin. Ia belum memaafkannya, belum, sesungguhnya belum, dalam dua puluh tahun ini. Seorang anomali yang dipekerjakan kemudian dihilangkan…

Ia tidak akan menyerah.

Adiknya saat itu baru satu, berumur tiga. Kiranti menangis, menangis, menangis… meraung, mana ayah, mana ayah, mana ayah? Bahkan ibunya tidak bisa membuatnya tersenyum. Bahkan Bundaran HI dan mall yang berderet kiri kanannya dan kaki-kaki lelah yang mengajaknya jalan-jalan tidak menyembuhkan kilat matanya yang sirna. Hanya tersisa senyum yang hampa, yang melekat pada Alia tiap ia menutup mata dan membayangkannya.

Alia tidak berniat durhaka.

Ibunya sudah bilang, anak itu tidak harus menanggung kesalahan orangtua. Alia tidak perlu pergi mencari. Alia jangan mengkhawatirkan ibu. Alia tetap berangkat malam itu, dengan cerutu batik dan kain Jawa di tasnya yang ia bawa tidur setiap malam. Tanpa pamit sampai ditelepon di bandara.

“Assalamualaikum, sayang, berangkat cari ayah ya?”

Terngiang dan menggaung, ditemani surya sunyi. Pada akhirnya, ada yang mencarinya untuk kembali ke dalam kantor. Yang tidak dikatakan peneliti muda itu adalah betapa bersinarnya kerudung putih Alia dari pintu, membuat punggungnya yang membesar di pandangan saat mendekat terkesan ramah ditepuk dan disapa.

Persis seperti ayahnya.

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 License